Jumat, 21 Oktober 2011

Konsensus konstipasi

Konstipasi sebagaimana orang awam sering menyebutnya sebagai sembelit merupakan suatu gangguan yang sering dialami oleh sebagian besar orang. Bahkan pada sebagian orang sembelit sudah merupakan gangguan rutin dan dianggap merupakan suatu hal yang biasa.
Tetapi di sisi lain sebenarnya sembelit merupakan suatu keadaan yang tidak normal yang secara tidak sadar sebenarnya menghambat aktifitas sehari-hari bagi mereka yang mengalami sembelit tersebut.
    
Sebenarnya seberapa besar masalah sembelit ini yang ada di masyarakat? Penelitian dari ruang endoskopi di RSCM selama 5 tahun dari tahun 1998-2005,  mendapatkan 9 % pasien atau sekitar 216 pasien  dilakukan endoskopi saluran cerna bawah atas indikasi kontipasi.
Yang menarik selanjutnya dari penelitian tersebut bahwa pasien yang datang karena konstipasi 9 % disebabkan oleh kanker usus besar. Selain itu sekitar 36,39 % kasus konstipasi tersebut mengalami hemoroid atau ambeien.

Definisi konstipasi

Adanya buang air besar (BAB) yang tidak memuaskan yang ditandai oleh buang air besar kurang dari 3 kali dalam 1 minggu atau kesulitan dalam pengeluaran  feses akibat feses yang keras. Konstipasi kronik” didefinisikan sebagai adanya gejala-gejala diatas yang telah berlangsung sekurang-kurangnya 3 bulan.   Salah 1 kriteria yang sering digunakan dalam mendiagnosis konstipasi adalah kriteria ROME II  à adanya 2 atau lebih gangguan buang air besar di bawah ini selama sekurang-kurangnya 12 minggu  :
  1. Mengejan  
  2. Feses yang keras
  3. Perasaan tidak lampias saat  BAB
  4. Perasaan adanya hambatan pada dubur dan poros usus  
  5. Evakuasi feses secara manual
  6. BAB kurang dari 3 kali / minggu

Faktor resiko

  • Konstipasi lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki
  • Aktivitas kurang
  • Diet rendah serat
  • Obat-obatan [opiate (morfin, codein, doveri), antikolinergik, antidepresan trisiklik, obat antiparkinson, diuterik (furosemid) dan beberapa antihistamin (difenhidramin)]
Pada konsensus yang disusun ini juga disepakati beberapa tanda “alarm” yang harus menjadi perhatian sehingga jika seseorang mengalami konstipasi disertai tanda “alarm”  harus segera mencari pertolongan dokter dan bagi dokter yang bekerja pada pelayanan kesehatan primer  harus merujuk pasien ini pada pusat pelayanan kesehatan yang lebih lengkap.

Tanda  “alarm” yang harus menjadi perhatian ini yaitu:

  • BAB ada darah,
  • Tumor pada perut,
  • Riwayat keganasan dalam keluarga,
  • Penurunan berat badan ≥ 5 kg,
  • Demam,
  • Mual, muntah,
  • Nafsu makan berkurang,
  • Konstipasi terjadi pertama kali dan makin lama semakin memburuk,
  • Konstipasi akut pada lanjut usia,
  • Anemia,  
  • Pemeriksaan darah samar tinja positif,
  • Konstipasi berat, persisten dan  yang tak responsif  terhadap pengobatan.
Adapun komplikasi dapat terjadi pada pasien dengan konstipasi yang kronis antara lain: keluarnya poros usus (prolaps rectum), perdarahan hemoroid , luka pada dubur, fisura ani, feses padat dan keras sehingga menyumbat usus besar dan berakibat terjadinya  ulkus di poros usus dan selanjutnya menyebabkan perdarahan. Selain itu kontipasi kronik juga dapat menyebabkan infeksi saluran kemih berulang karena penekanan ureter akibat skibala.

Bagaimana penanganan pasien dengan Konstipasi?

Penderita konstipasi perlu mendapatkan terapi komprehensif untuk mengembalikan fungsi defekasi yang fisiologis. Pengananan pasien konstipasi kronis terdiri dari terapi non farmakologik dan farmakologik.

1.    Terapi non-farmakologis (modifikasi gaya hidup) :

  • Meningkatkan konsumsi makanan berserat dan minum yang cukup,
  • Meningkatkan aktivitas fisik,
  • Mengatur kebiasaan defekasi,
  • Menghindari mengejan mencoba buang air besar setelah habis makan atau waktu yang dianggap tepat dan cukup,
  • Menghindari obat-obatan yang menyebabkan konstipasi.

2.    Terapi farmakologis

  1. Bulk laxative : psyllium, plantago ovata, methyl cellulose
  2. Laksatif osmotik :
    1. saline laxative: magnesium hidroksida, sodium phosphat
    2. disakarida yang tak diserap : laktulosa
    3. sugar alcohol : sorbitol, manitol
    4. poly ethylene glycol (PEG)
  3. Laksatif stimulan : bisacodyl (Dulcolax), anthraquinone, castor oil, sodium picosulphate, stool softener (dioctyl sodium sulphosuccinate).
  4. Rektal enema / suppositoria
  5. Prokinetik : tegaserod
Terapi empirik ini dievaluasi selama 2-4 minggu. Bila tidak ada perbaikan maka harus dilakukan investigasi lebih lanjut. Pada konstipasi dengan waktu transit yang normal dan rendah yaitu diet tinggi serat (sayur dan buah-buahan) disertai  bisakodil (dulcolax)  sudah dapat diberikan pada pengobatan awal. 

Bersumber dari : www.anakku.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar