Rabu, 04 Februari 2015

SMA Internasional Springfield Jakarta Menikmati Suasana Pedesaan

Melintas kebun dalam acara jelajah desa
Menikmati suasana penginapan ala pedesaan dan merasakan langsung kegiatan budaya Jawa baru saja dialami oleh 18 siswa-siswi SMA Internasional Springfield Jakarta di Tembi Rumah Budaya pada 27—31 Januari 2015. Tidak hanya itu, selama mereka di Yogyakarta juga berkunjung ke beberapa destinasi yang bernuansa budaya lokal, seperti Keraton Kasultanan Yogyakarta, Pasar Tradisional Beringharjo, dan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Selama lima hari mereka tak hanya menginap di rumah pedesaan Tembi, tapi juga mengikuti aneka kegiatan budaya di rumah Tembi. Mereka belajar membatik, menari, menabuh gamelan, dan melakukan jelajah desa. Mereka yang sudah terbiasa hidup dalam suasana modern, merasa mendapat sensasi baru.

Mereka belajar Tari Garuda
“Latihan menari tradisional ini baru pertama kali aku alami, sangat mengesankan. Juga menambah wawasan tentang teknik menari. Ternyata ada teknik-teknik khusus yang sangat berbeda dengan tarian balet yang biasa aku ikuti sebelumnya. Saya pikir terlalu mudah dipelajari, seperti halnya balet, ternyata sulit juga,” tutur Shannon, pelajar putri kelas XII.

Shannon bertutur lagi, “Tarian Garuda yang saya pelajari ini cukup unik. Saya sangat senang. Demikian pula saat belajar membatik dan menabuh gamelan. Baru kali ini aku memegang canting. Begitu pula menabuh gong. Jadi tadi saat latihan menabuh gong aku sering salah pukul.”

Siswa-siswi SMA Internasional Springfield Jakarta belajar menabuh gamelan
Hal senada juga diungkapkan oleh pelajar putra Seanandrew, “Senang rasanya bisa langsung merasakan menari walaupun hanya sebentar. Selama ini hanya membayangkan orang lain menari. Aku baru pertama kali menari, di di Tembi ini. Seru ya! Saya pikir latihan tari itu secara pelan-pelan dan lambat, ternyata latihan tari Garuda kali ini dituntut begitu cepat gerakannya. Sempat kaget tetapi senang juga.”

Mereka juga merasakan sensasi berjalan di pematang sawah
Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya


Selasa, 27 Januari 2015

Kisah Affandi Dari Pak Djon

Buku tentang Affandi,
“Dia Datang, Dia Lapar, Dia Pergi”,
Foto: Jogjanews

Nama besar Affandi tidak bisa dipisahkan dari Pak Djon. Sejak tahun 1961, Pak Djon selalu menemani Affandi dengan setia, sampai akhir hayatnya. Siapa itu Pak Djon? Dia adalah sopir sekaligus asisten pribadi Affandi. Setelah Affandi tiada, pak Djon, yang bernama lengkap Suhardjono, lahir 8 Maret 1934, menjadi rujukan mengenai Affandi.

Kisah mengenai Affandi yang dituturkan oleh Pak Djon, ditulis menjadi buku oleh dua perupa, Hendro Wiyanto dan Hari Budiono, dengan judul “Dia Datang, Dia Lapar, Dia Pergi: Kenangan Pak Djon Sopir dan Asisten Pribadi”. Buku tersebut, Sabtu malam, 15 Maret 2014 di-launching di Sangkring, Jl. Nitiprayan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Launching buku kisah mengenai Affandi ini tidak dalam bentuk diskusi, tetapi dikemas dalam bentuk pesta, yang dilengkapi dengan round table dan ada life musik. Jadi, suasana pesta lebih kental ketimbangan nuansa kultural-intelektual. Sindhunata, budayawan, yang menjadi pemuncak acara memberi komentar mengenai buku tersebut tak lebih dari setengah jam.

Launching buku kisah mengenai Affandi ini tidak dalam bentuk diskusi, tetapi dikemas dalam bentuk pesta, yang dilengkapi dengan round table dan ada life musik. Jadi, suasana pesta lebih kental ketimbangan nuansa kultural-intelektual. Sindhunata, budayawan, yang menjadi pemuncak acara memberi komentar mengenai buku tersebut tak lebih dari setengah jam.

Bagi Sindhunata, Affandi adalah seorang seniman seperti yang ia sebutkan, kalau dia sudah ‘lapar’ melukis, di manapun Affandi akan melakukannya, apalagi saat dalam momentum peristiwa, naluri senimannya akan segera meresponnya.

“Saya merasakan betul totalitas Affandi dalam menggeluti prosesnya sebagai seorang pelukis. Di manapun dan kapanpun dalam perjalanan ketika sedang naik mobil bersama sopirnya, Pak Djon, Affandi meminta berhenti lalu melukis,” kata Sindhunata.

Hari Budiono dan Hendro Wiyanto, penulis buku ini, mengatakan, siapa yang mengenal Affandi dengan dekat, pasti mengenal Pak Djon. Karena dalam kehidiupan keseharian, Affandi dan Pak Djon selalu bersama.

Hari Budiono mengungkapkan bahwa Affandi pernah menyatakan dirinya dan Pak Djon seperti pasangan Kresna dan Arjuna.

Pak Djon, yang kini usianya 80 tahun, selama ‘menemani’ Affandi, selalu setia dan mengerti apa kebutuhan Affandi. Pada saat Affandi ingin melukis, yang disebutnya sebagai ‘kebelet’ bertarung dengan emosinya sendiri untuk segera melukis, Pak Djon dengan sangat cepat menyediakan apa yang dibutuhkan Affandi, sehingga hasratnya untuk melukis selalu menemukan orgasme.

Ketika diminta untuk sedikit menceritakan perihal Affandi, Pak Djon mengatakan, bahwa Affandi merasa dirinya hanyalah seorang tukang gambar, alih-alih pelukis, apalagi seniman.

“Djon, aku kuwi mung tukang gambar to, dudu seniman (Djon, saya sebenarnya hanya seorang tukang gambar, bukan seniman),” kata Pak Djon menirukan perkataan Affandi.

Pak Djon mengenali betul proses kreatif Affandi. Dia bisa bercerita mengenai lukisan yang dibuat Affandi seperti, misalnya, lukisan ‘adu jago’ yang sangat dikenal luas. Affandi, demikian Pak Djon menyampaikan, memang sungguh total ketika melukis. Seluruh tubuhnya sampai berkeringat, dan hasil lukisannya bagi dia adalah anaknya. Maka, lukisan karya Affandi seperti ‘memiliki jiwa’.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya


Rabu, 14 Januari 2015

Susi Duyung dalam Asam Garam di Bentara Budaya

“Asam garam” merupakan tajuk pameran seni rupa karya kurator Bentara Budaya Yogyakarta, yakni GM Sudarta, Hari Budiono, Hermanu, Ipong Purnomosidhi dan Wiendarto. Pameran dilakukan 9-17 Januari 2015 di Bentara Budaya, Jalan Suroto 2, Kotabaru, Yogyakarta.

Susi Duyung, karya Hari Budiono

“Susi Duyung,” judul lukisan karya Hari Budiono, terasa menarik karena menghadirkan sosok yang sekarang terkenal sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Susi Pujiastuti yang dihadirkan sebagai seekor duyung, dengan membawa senjata api dan pakaian siap perang, seolah memang sedang melawan kompleksitas persoalan laut.

“Laut merupakan dunia Susi dan dia tahu betul persoalan di laut yang menyangkut kehidupan manusia dan kehidupan laut itu sendiri. Seperti seekor duyung, Susi sedang mengatasi persoalan yang bertahun-tahun melilit dunianya,” kata Hari Budiono.

Karena kemampuan Susi mengatasi persoalan laut, lanjut Hari Budiono, para nelayan merasa diuntungkan dan bisa dengan tenang mencari ikan tanpa perlu merasa takut oleh ribuan pencuri ikan.


Pak Min karya Hermanu

Karya yang lain berjudul “Pak Min” dari Hermanu, menyajikan kisah orang kecil, yang sedang mengambil roda mobil, mungkin akan menambal bannya. Kisah orang kecil ini disajikan secara menyentuh, dan memberi kesan bahwa Hermanu begitu perhatian pada orang-orang kecil. Selain itu, Hermanu juga menampilkan karya yang diberi judul “Semar Langit”.

Mimika Indonesia Raya, karya Wiendarto
Wiendarto menyajikan kisah yang lain lagi, melalui karya yang berjudul “Mimika Indonesia Raya”. Dia seperti menyampaikan narasi masa depan yang getir dan mengerikan. Bumi yang berlubang, dan di dekatnya ada produk internasional sementara ada rakyat yang nasibnya merana, bahkan seperti hendak masuk pada lubang itu.

Wiendarto melihat bumi Indonesia yang kaya memiliki masa depan yang mengerikan, dan menyengsarakan bagi masyarakatnya. Melalui karya ini Wiendarto seperti hendak mengingatkan para pemangku negeri untuk melihat masa depan bangsanya dan negerinya.

“Potret Dari Lamalera” adalah salah satu karya dari GM Sudarta yang disajikan dalam pameran ini. Ia seperti sedang memberi kisah pada satu daerah di Indonesia, yang ‘nasibnya’ berbeda dengan di Jawa misalnya. Artinya, ada kesenjangan yang nyata dan melalui karya GM Sudarta menyampaikan kritik.

Semar Langit, karya Hermanu
Pameran seni rupa “Asam Garam” setidaknya memberi ruang bagi para kurator itu untuk tidak berhenti berkarya. Mereka selama ini menilai karya orang lain agar bisa dipamerkan di Bentara Budaya. Kali ini mereka mengkuratori karya sendiri, agar publik bisa melihat bahwa sebagai kurator mereka tidak berhenti berkarya.

Para kurator ini bertumbuh dan berproses di Bentara Budaya, bahkan sejak Bentara masih mendompleng di Toko Buku Gramedia Yogyakarta. Hermanu dan Hari Budiono, bersama Sindhunata mengawali Bentara Budaya dari Yogyakarta dan kini ada Bentara Budaya Jakarta, Solo dan Bali. Hanya saja di Solo namanya bukan Bentara, melainkan Balai Soedjatmoko.

Laiknya di gunung dan di laut, para kurator ini bertemu di Bentara Budaya dan dari sana mereka telah memiliki asam garam. Bersama dengan para perupa dan seniman lain, para kurator ini masih terus bergulat dengan kesenian, dan karena itu Bentara Budaya menjadi semakin memiliki arti di tengah dunia kebudayaan di Indonesia.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya

Selasa, 09 Desember 2014

Pemerintah Membentuk Desa Wisata Bambu

Deni Kusnadi, staf Landscape Dusun Bambu (kiri), dan Ketua Forum Penyelamat Lingkungan Hidup Jawa Barat Thio Setiowekti, beberapa waktu lalu, berjalan di jalan masuk Dusun Bambu, Desa Kertawangi, Cisarua, Bandung Barat, Jawa Barat, yang dirimbuni dedaunan bambu. Bambu yang tumbuh di kiri dan kanan jalan didesain sedemikan rupa agar membentuk terowongan bambu.


CIREBON, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Komunitas Bambu Nusantara membentuk kampung percontohan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, untuk dijadikan kampung bambu. Di kampung itu nantinya akan dikembangkan budidaya bambu, kerajinan bambu, serta ekowisata dan kesenian yang memanfaatkan bambu sebagai sarana utamanya.

Desa yang terpilih sebagai desa wisata adalah Desa Cibuntu di Kecamatan Pasawahan. Peresmian dilakukan secara simbolis di desa itu dengan penyerahan 1.000 bibit bambu dari komunitas bambu kepada warga desa, Sabtu (18/10/2014).

Kegiatan itu juga berbarengan dengan acara adat sedekah bumi yang menjadi kegiatan rutin warga Desa Cibuntu setiap tahun untuk menyongsong musim tanam dan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Lebih dari 900 warga desa berbondong-bondong membawa makanan dan hasil bumi untuk disantap bersama-sama dalam kegiatan sedekah bumi tersebut.

Warga mengular dalam arak-arakan yang diikuti semua warga, laki-laki, perempuan, tua, dan muda. Makanan dan hasil bumi tersebut diangkut dalam wadah bundar terbuat dari bambu yang disebut tetenong. Wadah dipikul laki-laki yang merupakan perwakilan setiap keluarga.

”Ini desa pertama yang ditetapkan sebagai desa wisata di Kuningan. Ke depan, kami akan mengembangkan desa wisata lain di Kuningan dengan keunikan masing-masing,” kata Teddy Suminar, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuningan.

Bupati Kuningan Utje Hamid Suganda menuturkan, pariwisata menjadi sektor terpenting dalam mendukung Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kuningan yang mendeklarasikan diri sebagai kabupaten konservasi di Jabar.

Kampung bambu

Chaeruddin Hasim, Asisten Deputi Peningkatan Peran Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup, yang hadir dalam peresmian itu, menuturkan, konsep yang sama bisa diterapkan di daerah lain. Cibuntu diharapkan bisa menjadi contoh pengembangan desa berbasis wisata dan ekologi. Cibuntu sekaligus didorong menjadi kampung bambu, yakni dengan menjadi tempat pembibitan dan pengolahan bambu sebagai produk ekonomi kreatif.

”Tahun ini setiap kota dan kabupaten ditargetkan memiliki hutan bambu yang luasannya tidak kurang dari 10 hektar,” ungkap Chaeruddin.

Dalam pengelolaan kampung bambu, Kementerian Lingkungan Hidup menggandeng Komunitas Bambu Nusantara yang memiliki jaringan hingga ke daerah-daerah. Komunitas ini sekaligus menjadi penggerak pengembangan kampung wisata bambu terpadu.

Ahli bambu dari Universitas Trisakti, Jakarta, Azril Azahari, menuturkan, hampir semua bagian bambu memiliki nilai guna.

Sementara Koordinator Komunitas Bambu Nusantara Cirebon Bambang Sasongko mengatakan, Cibuntu dipilih sebagai kampung bambu percontohan karena warganya menjaga kelestarian bambu. (REK)

Senin, 01 Desember 2014

Ini Dia 6 Pastry Asal Jepang dan Korea yang Akan Jadi Trend 2015


Seperti fashion, trend terbaru dari dunia bakery dan pastry juga muncul setiap tahun. Selain rasanya yang asin atau manis, pastry akan banyak memakai bahan menyehatkan.

Di acara Patissera, telah ditampilkan beberapa sajian pastry yang akan menjadi trend di tahun 2015 mendatang. Tentunya warna gradasi ombre dan penggunaan bahan segar seperti sayuran tetap mendominasi.

1. Ombre


Aplikasi warna ombre tidak hanya dapat dilakukan pada sponge cake, akan tetapi juga pada swiss roll. Kreasi kue dari Jepang ini memang berfokus pada kreatifitas dan elegan dengan menyajikan kue dengan unsur ombre sebagai hiasannya. Selain itu ada juga kreasi cake Baumkuchen yang diadopsi dari negara asalnya dari Jerman yang sama-sama memiliki  warna gradasi yang menarik.

2. Black forest beetroot


Black forest memang banyak disukai oleh anak-anak. tapi agar semakin bernutrisi, black forest dibuat dengan campuran buah bit yang kaya akan betakaroten sehingga sangat baik untuk menjaga kesehatan mata. Apalagi rasanya yang kurang enak dapat ditutupi dengan coklat.

3. Green tea eclair


Eclair yang diadaptasi dari Prancis ini memang sangat enak. Green tea sangat umum digunakan dalam kuliner Jepang dan Korea termasuk dalam sajian bakery dan pastry. Dengan isian cream yang lembut dan manis sajian ini sangat cocok disajikan sebagai dessert.

4. Kiddy fair


Di stall kiddy fair saat acara patissera berlangsung, ada beragam aneka cake yang dibentuk dari coklat molding Coklat ini berbeda rasanya dengan foundant. Flower pot dan aneka cake bentuk lucu dapat dibuat dengan menggunakan coklat modling.

5. Veggie cupcake


Cupcakes berwajah cantik ini ternyata dibuat dari sayur bayam. Selain kaya serat, bayam juga mengandung banyak vitamin dan juga mineral. Sajian cupcakes ini dapat menjadi alternatif para ibu yang anaknya tidak menyukai sayur terutama bayam.

6. Imagawayaki


Imagawayaki dikenal sebagai produk street food pastry di Jepang. Untuk menjadi sajian kue yang elegan, Imagawayaki juga dapat diberi isian matcha dengan aroma yang khas.

Bersumber dari : Lusiana Mustinda - detikFood

Senin, 10 November 2014

SISWA SEKOLAH INTERNASIONAL SINGAPURA BERLATIH GAMELAN

Seorang siswa Sekolah internasional Singapura menyimak instruksi
pemandu untuk menabuh kempul

Sabtu, 1 November 2014 pukul 15.00 WIB sebanyak 16 siswa Sekolah Internasional Singapura berkunjung ke Tembi Rumah Budaya. Tujuan utama mereka adalah bermain gamelan atau berlatih karawitan. Mereka semua tidak bisa berbahasa Indonesia. Namun banyak di antara mereka yang bisa mengerti sekalipun tidak mampu mengucapkannya.

“Mengerti bahasa Indonesia ?” tanya pemandu kepada dua anak pemain kempul dan gong.

“Tak. Sikit-sikit.” Mereka menjawab dengan bahasa Malaysia. Namun ketika pemandu menjelaskan panjang lebar mengenai instrumen gamelan dan cara memainkannya dengan menggunakan bahasa Indonesia, mereka tidak mengerti. Beruntung tour leader mereka membantu menerjemahkan penjelasan itu dengan baik.

Siswa-siswi Sekolah internasional Singapura Konsentrasi
menabuh gamelan di Tembi
Dengan bahasa gado-gado pun pemandu berusaha menjelaskan semuanya itu. Harapannya mereka mengerti apa yang diterangkan oleh pemandu. Ternyata selang beberapa saat kemudian mereka bisa memainkan satu gending Manyar Sewu sekalipun masih belepotan di sana-sini.

Pengulangan terus dilakukan agar mereka hafal gending itu. Ternyata memang cukup berhasil. Mereka pun gembira, yag terpancar pada sorot mata mereka yang dibarengi dengan senyum.

“Difficult ?” tanya pemandu.

“Oh no, not difficult,” jawab salah satu siswa yang ditanyai pemandu.

Di bawah bimbingan sekian pemandu, akhirnya orkestra gamelan itu toh dapat berbunyi dengan baik dan cukup harmonis. Tiga gending atau lagu pun terkuasai, yakni Manyar Sewu, Menthok-menthok, dan Kotek. Meski lelah, mereka cukup menikmati. Pada sisi itulah mereka menjadi lebih bisa memahami, ternyata bermain gamelan tidaklah mudah, namun juga tidak sulit. Mereka menjadi lebih paham tentang salah satu jenis kesenian yang menjadi salah satu identitas kebudayaan Jawa (Indonesia).

Bergaya di Senthong Tengah
Usai bermain gamelan mereka pun berkeliling area Tembi. Koleksi museumTembi menjadi santapan mereka yang pertama. Senjata tradisional berupa keris dan tombak membuat mereka cukup keheranan. Demikian pun sistem pembagian ruang (kamar) rumah Jawa yang disebut senthong. Bagi mereka sistem pembagian ruang atau kamar dalam rumah Jawa itu terasa aneh sekaligus unik. Demikian juga tempat tidur yang kaya dengan ukiran bagi mereka juga kelihatan sangat unik, juga gebyok berukir yang menjadi sekat utama dalam pembagian ruang.

Topeng untuk menari dalam lakon Ramayana dan Panji sedikit banyak mereka kenali. Setidaknya kisah tentang Ramayana telah mereka kenali. Dolanan anak tradisional Jawa sebagian juga mereka kenali. Setidaknya dakon atau congklak dan lompat tali dengan tali karet mereka kenali pula.

Sepeda onthel kuno dan sepeda motor kuno cukup menyita perhatian mereka. Barangkali di negeri mereka barang ini termasuk barang langka. Demikian pula dengan kulkas kuno yang tidak menggunakan daya listrik maupun baterai (aki) membuat mereka tersenyum-senyum karena merasa aneh. Rumah-rumah tradisional Jawa berbentuk limasan (limansap) serta rumah tradisional Indramayu membuat mereka juga kagum. Pada sisi-sisi itulah mau tidak mau mereka harus mengakui betapa kaya dan beragamnya elemen-elemen kebudayaan yang ada di Jawa. Itu pun baru Jawa saja. Belum keseluruhan elemen kebudayaan Nusantara (Indonesia). Itu pun baru elemen-elemen kebudayaan bendawi belum lagi yang tak bendawi (intangible).

Menikmati lingkungan Bale Inap Tembi
Jika bangsa mancanegara saja demikian berminat kepada kebudayaan Nusantara, bagaimana dengan kita sendiri selaku salah satu suku bangsa yang tinggal di Nusantara ?

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya

Senin, 22 September 2014

Beda Daerah, Beda Juga Rasanya...

Laksa khas Tangerang di pusat jajanan laksa di Jalan Moh Yamin, Kota Tangerang, Banten.
Lain  ladang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya. Seperti itulah makanan laksa. Atin (45), pedagang Laksa Kumis Bewok di Kawasan Kuliner Laksa di Kota Tangerang, Banten, mengatakan, laksa merupakan makanan yang dipengaruhi akulturasi keturunan Tionghoa-Melayu. Entah bagaimana kisahnya, laksa lalu menjadi makanan khas daerah sekitaran Jakarta (Betawi), mencakup Tangerang, Bogor, dan Cibinong.

Meski namanya sama, yakni laksa, setiap daerah itu memiliki kekhasan masing-masing atas makanan tersebut. Secara umum, laksa merupakan makanan yang menggunakan mi putih dan disiram dengan kuah berwarna kuning kemerahan (karena cabai). Bumbu dasar yang dicampur dalam kuah hampir sama, terdiri dari kunyit, jahe, lengkuas, kemiri, bawang merah, bawang putih, dan cabai.

”Laksa Tangerang berbeda dengan laksa Betawi dan Bogor. Yang membedakan adalah variasi kuahnya,” kata Atin.

Yang membedakan laksa-laksa Tangerang, Betawi, dan Cibinong/Bogor terletak pada kuahnya. Kekentalan kuah laksa Tangerang berasal dari parutan kelapa yang disangrai dan kacang hijau. Kuah berisi potongan kentang berukuran dadu. Laksa dimakan dengan menggunakan mi putih (terbuat dari beras prak yang dicampur dengan air dan dimasak. Selanjutnya, dibentuk bulat panjang sebesar lidi dengan menggunakan alat tersendiri).

Kuah yang kental dari laksa Cibinong/Bogor berasal dari potongan oncom. Laksa ini dimakan dengan ketupat atau bihun, ditambah taoge panjang, suwiran daging ayam, udang, dan telur rebus. Penyuka laksa ini sering menambahkan sambal cuka sebagai pelengkap rasa.

Sementara laksa Betawi biasanya berisi telur, ketupat, taoge pendek, daun kemangi, dan kucai. Mi yang digunakan adalah bihun. Adapun lauk pelengkapnya adalah perkedel.

Beragam daerah

Dari literatur kuliner di internet, dikenal ada laksa kari, laksa asam, dan laksa lemak. Ada laksa yang dinamai dari asal tempat, antara lain Katong (Singapura), Johor, Ipoh, Penang, Kedah, Kelantan, dan Sarawak (Malaysia), Palembang, Bogor, Betawi, Jepara, dan Banjar (Indonesia).

Penambahan oncom untuk laksa Bogor, udang rebon untuk laksa Betawi, udang untuk laksa Jepara, dan ikan gabus untuk laksa Banjar adalah kreasi dari masyarakat setempat sehingga masakan ini menjadi otentik atau berbeda satu dengan lainnya.

Di Bogor, kuah laksa yang memakai oncom dan ampas kelapa parut yang dihaluskan atau yang tidak menggunakannya sudah tentu membawa perbedaan yang kentara. Bagi penulis, mustahil mengatakan laksa tertentu unggul atau lebih enak dibandingkan dengan lainnya. Yang lebih adil adalah mencoba semuanya dan memilih yang paling disukai. Mungkin ada benarnya, menyantap laksa tidak akan pernah ada rasa terpaksa. (PIN/BRO)

Bersumber dari : kompas.com