Rabu, 04 Februari 2015

SMA Internasional Springfield Jakarta Menikmati Suasana Pedesaan

Melintas kebun dalam acara jelajah desa
Menikmati suasana penginapan ala pedesaan dan merasakan langsung kegiatan budaya Jawa baru saja dialami oleh 18 siswa-siswi SMA Internasional Springfield Jakarta di Tembi Rumah Budaya pada 27—31 Januari 2015. Tidak hanya itu, selama mereka di Yogyakarta juga berkunjung ke beberapa destinasi yang bernuansa budaya lokal, seperti Keraton Kasultanan Yogyakarta, Pasar Tradisional Beringharjo, dan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Selama lima hari mereka tak hanya menginap di rumah pedesaan Tembi, tapi juga mengikuti aneka kegiatan budaya di rumah Tembi. Mereka belajar membatik, menari, menabuh gamelan, dan melakukan jelajah desa. Mereka yang sudah terbiasa hidup dalam suasana modern, merasa mendapat sensasi baru.

Mereka belajar Tari Garuda
“Latihan menari tradisional ini baru pertama kali aku alami, sangat mengesankan. Juga menambah wawasan tentang teknik menari. Ternyata ada teknik-teknik khusus yang sangat berbeda dengan tarian balet yang biasa aku ikuti sebelumnya. Saya pikir terlalu mudah dipelajari, seperti halnya balet, ternyata sulit juga,” tutur Shannon, pelajar putri kelas XII.

Shannon bertutur lagi, “Tarian Garuda yang saya pelajari ini cukup unik. Saya sangat senang. Demikian pula saat belajar membatik dan menabuh gamelan. Baru kali ini aku memegang canting. Begitu pula menabuh gong. Jadi tadi saat latihan menabuh gong aku sering salah pukul.”

Siswa-siswi SMA Internasional Springfield Jakarta belajar menabuh gamelan
Hal senada juga diungkapkan oleh pelajar putra Seanandrew, “Senang rasanya bisa langsung merasakan menari walaupun hanya sebentar. Selama ini hanya membayangkan orang lain menari. Aku baru pertama kali menari, di di Tembi ini. Seru ya! Saya pikir latihan tari itu secara pelan-pelan dan lambat, ternyata latihan tari Garuda kali ini dituntut begitu cepat gerakannya. Sempat kaget tetapi senang juga.”

Mereka juga merasakan sensasi berjalan di pematang sawah
Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya


Selasa, 27 Januari 2015

Kisah Affandi Dari Pak Djon

Buku tentang Affandi,
“Dia Datang, Dia Lapar, Dia Pergi”,
Foto: Jogjanews

Nama besar Affandi tidak bisa dipisahkan dari Pak Djon. Sejak tahun 1961, Pak Djon selalu menemani Affandi dengan setia, sampai akhir hayatnya. Siapa itu Pak Djon? Dia adalah sopir sekaligus asisten pribadi Affandi. Setelah Affandi tiada, pak Djon, yang bernama lengkap Suhardjono, lahir 8 Maret 1934, menjadi rujukan mengenai Affandi.

Kisah mengenai Affandi yang dituturkan oleh Pak Djon, ditulis menjadi buku oleh dua perupa, Hendro Wiyanto dan Hari Budiono, dengan judul “Dia Datang, Dia Lapar, Dia Pergi: Kenangan Pak Djon Sopir dan Asisten Pribadi”. Buku tersebut, Sabtu malam, 15 Maret 2014 di-launching di Sangkring, Jl. Nitiprayan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Launching buku kisah mengenai Affandi ini tidak dalam bentuk diskusi, tetapi dikemas dalam bentuk pesta, yang dilengkapi dengan round table dan ada life musik. Jadi, suasana pesta lebih kental ketimbangan nuansa kultural-intelektual. Sindhunata, budayawan, yang menjadi pemuncak acara memberi komentar mengenai buku tersebut tak lebih dari setengah jam.

Launching buku kisah mengenai Affandi ini tidak dalam bentuk diskusi, tetapi dikemas dalam bentuk pesta, yang dilengkapi dengan round table dan ada life musik. Jadi, suasana pesta lebih kental ketimbangan nuansa kultural-intelektual. Sindhunata, budayawan, yang menjadi pemuncak acara memberi komentar mengenai buku tersebut tak lebih dari setengah jam.

Bagi Sindhunata, Affandi adalah seorang seniman seperti yang ia sebutkan, kalau dia sudah ‘lapar’ melukis, di manapun Affandi akan melakukannya, apalagi saat dalam momentum peristiwa, naluri senimannya akan segera meresponnya.

“Saya merasakan betul totalitas Affandi dalam menggeluti prosesnya sebagai seorang pelukis. Di manapun dan kapanpun dalam perjalanan ketika sedang naik mobil bersama sopirnya, Pak Djon, Affandi meminta berhenti lalu melukis,” kata Sindhunata.

Hari Budiono dan Hendro Wiyanto, penulis buku ini, mengatakan, siapa yang mengenal Affandi dengan dekat, pasti mengenal Pak Djon. Karena dalam kehidiupan keseharian, Affandi dan Pak Djon selalu bersama.

Hari Budiono mengungkapkan bahwa Affandi pernah menyatakan dirinya dan Pak Djon seperti pasangan Kresna dan Arjuna.

Pak Djon, yang kini usianya 80 tahun, selama ‘menemani’ Affandi, selalu setia dan mengerti apa kebutuhan Affandi. Pada saat Affandi ingin melukis, yang disebutnya sebagai ‘kebelet’ bertarung dengan emosinya sendiri untuk segera melukis, Pak Djon dengan sangat cepat menyediakan apa yang dibutuhkan Affandi, sehingga hasratnya untuk melukis selalu menemukan orgasme.

Ketika diminta untuk sedikit menceritakan perihal Affandi, Pak Djon mengatakan, bahwa Affandi merasa dirinya hanyalah seorang tukang gambar, alih-alih pelukis, apalagi seniman.

“Djon, aku kuwi mung tukang gambar to, dudu seniman (Djon, saya sebenarnya hanya seorang tukang gambar, bukan seniman),” kata Pak Djon menirukan perkataan Affandi.

Pak Djon mengenali betul proses kreatif Affandi. Dia bisa bercerita mengenai lukisan yang dibuat Affandi seperti, misalnya, lukisan ‘adu jago’ yang sangat dikenal luas. Affandi, demikian Pak Djon menyampaikan, memang sungguh total ketika melukis. Seluruh tubuhnya sampai berkeringat, dan hasil lukisannya bagi dia adalah anaknya. Maka, lukisan karya Affandi seperti ‘memiliki jiwa’.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya


Rabu, 14 Januari 2015

Susi Duyung dalam Asam Garam di Bentara Budaya

“Asam garam” merupakan tajuk pameran seni rupa karya kurator Bentara Budaya Yogyakarta, yakni GM Sudarta, Hari Budiono, Hermanu, Ipong Purnomosidhi dan Wiendarto. Pameran dilakukan 9-17 Januari 2015 di Bentara Budaya, Jalan Suroto 2, Kotabaru, Yogyakarta.

Susi Duyung, karya Hari Budiono

“Susi Duyung,” judul lukisan karya Hari Budiono, terasa menarik karena menghadirkan sosok yang sekarang terkenal sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Susi Pujiastuti yang dihadirkan sebagai seekor duyung, dengan membawa senjata api dan pakaian siap perang, seolah memang sedang melawan kompleksitas persoalan laut.

“Laut merupakan dunia Susi dan dia tahu betul persoalan di laut yang menyangkut kehidupan manusia dan kehidupan laut itu sendiri. Seperti seekor duyung, Susi sedang mengatasi persoalan yang bertahun-tahun melilit dunianya,” kata Hari Budiono.

Karena kemampuan Susi mengatasi persoalan laut, lanjut Hari Budiono, para nelayan merasa diuntungkan dan bisa dengan tenang mencari ikan tanpa perlu merasa takut oleh ribuan pencuri ikan.


Pak Min karya Hermanu

Karya yang lain berjudul “Pak Min” dari Hermanu, menyajikan kisah orang kecil, yang sedang mengambil roda mobil, mungkin akan menambal bannya. Kisah orang kecil ini disajikan secara menyentuh, dan memberi kesan bahwa Hermanu begitu perhatian pada orang-orang kecil. Selain itu, Hermanu juga menampilkan karya yang diberi judul “Semar Langit”.

Mimika Indonesia Raya, karya Wiendarto
Wiendarto menyajikan kisah yang lain lagi, melalui karya yang berjudul “Mimika Indonesia Raya”. Dia seperti menyampaikan narasi masa depan yang getir dan mengerikan. Bumi yang berlubang, dan di dekatnya ada produk internasional sementara ada rakyat yang nasibnya merana, bahkan seperti hendak masuk pada lubang itu.

Wiendarto melihat bumi Indonesia yang kaya memiliki masa depan yang mengerikan, dan menyengsarakan bagi masyarakatnya. Melalui karya ini Wiendarto seperti hendak mengingatkan para pemangku negeri untuk melihat masa depan bangsanya dan negerinya.

“Potret Dari Lamalera” adalah salah satu karya dari GM Sudarta yang disajikan dalam pameran ini. Ia seperti sedang memberi kisah pada satu daerah di Indonesia, yang ‘nasibnya’ berbeda dengan di Jawa misalnya. Artinya, ada kesenjangan yang nyata dan melalui karya GM Sudarta menyampaikan kritik.

Semar Langit, karya Hermanu
Pameran seni rupa “Asam Garam” setidaknya memberi ruang bagi para kurator itu untuk tidak berhenti berkarya. Mereka selama ini menilai karya orang lain agar bisa dipamerkan di Bentara Budaya. Kali ini mereka mengkuratori karya sendiri, agar publik bisa melihat bahwa sebagai kurator mereka tidak berhenti berkarya.

Para kurator ini bertumbuh dan berproses di Bentara Budaya, bahkan sejak Bentara masih mendompleng di Toko Buku Gramedia Yogyakarta. Hermanu dan Hari Budiono, bersama Sindhunata mengawali Bentara Budaya dari Yogyakarta dan kini ada Bentara Budaya Jakarta, Solo dan Bali. Hanya saja di Solo namanya bukan Bentara, melainkan Balai Soedjatmoko.

Laiknya di gunung dan di laut, para kurator ini bertemu di Bentara Budaya dan dari sana mereka telah memiliki asam garam. Bersama dengan para perupa dan seniman lain, para kurator ini masih terus bergulat dengan kesenian, dan karena itu Bentara Budaya menjadi semakin memiliki arti di tengah dunia kebudayaan di Indonesia.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya